Jumat, 16 April 2010

MENGAKRABI PELAWAK


Dalam rangka memperingati 100 hari wafatnya Gus Dur, para seniman Kota Magelang menggelar wayang kolaborasi dengan tajuk "Gus Dur Masih Ada" di Galeri Langgeng, kompleks Taman Kyai Langgeng (16/4/2010). Pergelaran itu menampilkan Wayang Kampung Sebelah dari Solo yang berkolaborasi dengan pelawak Kirun, Marwoto Kawer, dan Den Baguse Ngarso. Juga grup Hip-Hop serta Barongsai. Pergelaran yang penuh tawa ini dihadiri pula oleh Yenny Wahid, putri almarhum K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Penulis tampak akrab dengan ketiga pelawak tersebut. Kebetulan, pimpinan Wayang Kampung Sebelah (Machulan Baihaqi) yang akrab dipanggil Mac ini teman baik penulis. Mac asli Kedungsari, Bandongan, Magelang yang kini tinggal di Solo.(Narwan S.K.)

Minggu, 11 April 2010

Cerpenku

Senthir

SEBAGAI abdi pada seorang adipati, Ki Pardopo sangat tekun bekerja. Tidak pernah sekali saja ia membantah perintah. Maka wajar bila ia mendapat hadiah yang baginya sangat mewah. Namun untuk seorang adipati hadiah tersebut sangatlah dianggap biasa saja. Ki Pardopo beserta anak dan istrinya diminta pindah dan tinggal di lingkungan kadipaten. Meskipun ia menganggap berlebihan, ia tak dapat menolak perintah tuannya.
Meskipun berada di ujung taman belakang, rumah itu tetap saja mewah bagi keluarga Ki Pardopo. Rumah cukup besar. Ada dua kamar yang berjauhan letaknya. Ada ruang tamu yang cukup luas. Seperangkat meja kursi di tengahnya. Sangat mewah memang bagi keluarga Ki Pardopo. Dengan keberadaanya di sana, keluarga Ki Pardopo dianggap oleh rakyat Kadipaten Pudakwangi sebagai sentana dalem. Sebuah sebutan yang termasuk terhormat. Meski demikian Ki Pardopo dan keluarganya tetap saja bersikap seperti di kampungnya. Tekun bekerja, bersahaja dan berbudi pekerti luhur. Sifat inilah yang menjadikan Adipati Pudakwangi itu menaruh simpati yang sangat kepada keluarganya.
“Terimakasih Gusti Adipati. Hamba sebenarnya berat menerima semua ini. Hamba hanyalah abdi, tidak selayaknya mendapat hadiah semewah ini.”
“Sudahlah, Ki Pardopo. Ini semua karena jasamu pada Kadipaten Pudakwangi. Sebagai abdi yang setia. Bahkan sejak aku muda. Cuma ingat pesanku, seperti ruang-ruang yang lain, setiap ruangan jangan sampai gelap. Taruh senthir, hidupkan bila malam kalian tidur. Agar aman dari marabahaya.”
“Sendika, Gusti.” Jawab Ki Pardopo.
Keluarga Ki Pardopo pun segera menyesuaikan diri dengan kehidupan lingkungan keluarga sang adipati. Begitu juga dengan Menur, gadis tunggal Ki Pardopo, yang meskipun keluguan sebagai gadis desa tetap tampak, namun tetap menyiratkan kecantikan.
****
Malam ini seperti biasanya, Menur melipat-lipat pakaian yang siang tadi dijemur.
“Sudah selesai Mbok.” Kata Menur sambil kedua tangannya meyerahkan lipatan pakaian kepada ibunya.
“Ya, Nduk. Sekarang kamu tidur dulu, simbok masih ingin menyiapkan sesuatu untuk besok pagi. Jangan lupa senthir-nya jangan dimatikan. Biarkan di atas meja.” Pinta Nyi Pardopo kepadanya. Menur mengiyakan dan segera berlalu menuju kamarnya.
Udara dingin menerobos lubang-lubang dinding. Menggerayangi sekujur tubuh Menur yang beranjak merenangi mimpi-mimpinya. Kesunyian segera menyelimuti kadipaten. Nyi Pardopo pun sudah menyusul suaminya mengunyah mimpi. Dinginnya malam membuat mimpi-mimpi betah hinggap di alam bawah sadar penghuni Pudakwangi.
Tiba-tiba senthir di ruang tidur Menur berpindah tempat. Kini senthir itu di lantai sehingga tubuh Menur tak lagi terterangi. Bayangan ranjang menutupi bujur tubuh gadis berparas cantik yang sedang merenangi lautan mimpi itu. Segenggam jari mendekap mulut Menur sehingga gadis itu terbangun. Tak ada suara jerit dapat terteriakkan, tak ada ronta kuasa tergerakkan. Hanya takut yang memicu keringat sekujur tubuh. Sebuah kalimat yang ia kenal membuatnya tak berdaya melepas kebanggaan suci yang terjaga selama ini.
****
Pagi-pagi sekali Nyi Pardopo membangunkan Menur. Ada pancaran rasa heran di wajah Nyi Pardopo. Senthir itu tidak di atas meja, namun berada di atas lantai. Nyi Pardopo menasehati Menur, tidak baik tidur di kamar dalam keadaan gelap bagi seorang gadis, juga sudah diwanti-wanti oleh Gusti Adipati. Memang benar adanya, bila senthir diletakkan di atas meja, agar ruangan menjadi terang. Bukan di lantai yang membuat siapa yang tidur tidak kelihatan.
“Maaf, Mbok. Menur tidak bermaksud tidur gelap-gelapan.”
“Ya, sudah. Jangan diulangi lagi.”
Menur sebenarnya menyimpan ketakutan yang sangat. Bukan tangannya yang memindah senthir itu. Bahkan Menur semalam tidak kuasa beranjak dari ranjangnya. Hanya rasa takut dan amarah yang menggumpal, menyumbat kerongkongan. Namun pagi itu ia sembunyikan di depan ibunya.
Saat Menur menyapu halaman, mukanya segera ditekuk saat Gusti Kuncoro, pulang dari berkuda pagi. Kegiatan yang selalu dilakukan putra Adipati Pudakwangi itu. Ada rasa takut menatap seorang pemuda, terlebih seorang putra adipati seperti Gusti Kuncoro.
Sebenarnya Kuncoro sangat menaruh perhatian pada Menur. Hanya saja kadang merasa terkekang oleh aturan tradisi Pudakwangi. Ia sangat menghormati tradisi, juga kepada kedua orangtuanya. Namun cinta kadang tak memandang kasta. Meskipun seorang putra adipati, di dada Kuncoro mendesak-desak rasa dari gelitik tangan-tangan asmara yang bersemayam dalam jiwa mudanya.
****
Malam-malam berlalu dan selalu meninggalkan senthir di lantai kamar tidur Menur. Malam-malam yang melahirkan ketakutan untuk berteriak, ketakutan untuk meronta, juga ketakutan untuk bercerita kepada siapa. Kemurungan menggelayut di roman cantik putri Ki Pardopo, kemurungan yang terukir dari gelap bayangan ranjang oleh senthir yang berpindah di lantai.
Malam-malam itu juga membuat Kuncoro sangat sulit memejamkan mata. Wajah Menur yang selalu hadir saat Kuncoro merebahkan tubuh di ranjang. Wajah yang seakan dekat, namun tersekat tradisi Pudakwangi. Kegelisahan di hati Kuncoro mengkristal menjadi keberanian untuk merangkai kata yang terucap di hadapan Menur. Kata yang berderet menguntai kalimat cinta. Sementara di telinga Menur, kata-kata itu semakin mengiris jiwa. Menambah beban di batinnya. Kadang ada amarah yang ingin meledak, namun apa untungnya bila ledakkan itu akan menjadi bumerang baginya, bagi keluarganya.
Menur begitu takut menerima untaian cinta yang dicurahkan Kuncoro. Takut melanggar tradisi, dan ia pun masih takut senthir berpindah ke lantai saat kesunyian menemani malam-malam di Pudakwangi.
“Apakah ada keharusan bahwa ningrat harus berjodoh sesama ningrat, sudra berjodoh dengan sudra, Rama?” Tanya Kuncoro kepada ayahndanya suatu siang.
“Bukan keharusan, tapi ini tradisi, anakku..” Jawab Gusti Adipati.
“Meski tradisi apakah mampu melarang anugerah Sang Kuasa yang bernama cinta? Maaf, Rama. Ananda sangat mencintai Menur, Rama.”
“Apa yang membuatmu bersikeras begitu, anakku?”
“Ananda tidak melihat kasta, harta, kedudukan, dan rupa,” jawab Kuncoro.
“Ada hal lain yang membuat Rama melarangmu berhubungan dengan Menur. Rama sangat menghormati tradisi, Rama tidak memberi restu kamu berjodoh dengan Menur.” Kata Adipati dengan nada agak tinggi.
Sebenarnya Adipati Pudakwangi telah menjodohkan Kuncoro dengan putri saudagar kaya, dan masih keluarga ningrat. Namun hingga saat ini belum ada jawaban kesiapan dari pihak saudagar tersebut, kapan akan dilangsungkan perkawinan putrinya dengan Kuncoro. Sebagai seorang adipati yang menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi, tentunya tidak ingin mengingkari kesepakatan dengan saudagar tersebut.
****
Ada bulan paruh menggantung di langit bertabur bintang. Ada dingin yang menerobos dinding rumah Ki Pardopo. Larut malam dalam simponi binatang malam, mengantarkan sekelebat sosok masuk rumah papan itu. Sejurus kemudian senthir di atas meja itu pun pindah ke lantai. Kembali ketakutan memaksa Menur meneteskan air mata. Deras. Sederas keringat sosok yang dikenalnya meski dalam gelap. Ada nafas kuda perang yang tertahan. Usai berlarian menelusuri huma dan bukit, kudapun terjerembab dalam kelelahan. Namun bergegas meninggalkan kamar dengan senthir di lantai.
Lagi-lagi Nyi Pardopo bersungut-sungut kepada putrinya melihat senthir di atas lantai. Tiba-tiba terhenyak melihat Menur keluar kamar sambil memegang perutnya dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya menutup mulutnya.
Perut Menur berasa mual. Bergegas ingin memuntahkannya ke kamar mandi. Nyi Pardopo tergopoh-gopoh menyusulnya.
“Kamu kenapa, Nduk? Sakit?”
Yang ditanya membisu. Matanya saja yang berair menahan rasa mual. Menahan ketakutan, dan kemarahan.
“Kenapa Nduk? Kamu...kamu....”
“Tidak apa-apa Mbok. Menur hanya masuk angin.”
Ada rasa curiga pada Nyi Pardopo. Menur dihujani pertanyaan. Naluri perempuan Nyi Pardopo tidak percaya begitu saja dengan jawaban Menur. Segera Nyi Pardopo melaporkan hal itu kepada suaminya. Di hadapan ayahnya, Menur pun tetap membisu. Keributan di rumah itu sampai pula ke telinga Adipati Pudakwangi.
****
“Ngger anakku. Apakah kamu benar-benar mencintai Menur? Apakah kamu sudah siap menerimanya sebagai istrimu? Apakah sudah kau pikirkan masak-masak bila nantinya kamu menggantikan ayahmu ini?” Tanya Adipati Pudakwangi kepada putranya.
“Ananda siap Rama. Menur telah menjadi pilihan ananda, meskipun dia hanya anak seorang abdi.” Jawab Kuncoro tegas.
“Kalau begitu, Rama akan segera mempersiapkan segala sesuatunya.”
“Terimakasih Rama. “
Sepeninggal Kuncoro. Adipati Pudakwangi memanggil abdi kesayangannya. Ki Pardopo menghadap dengan muka lain. Kali ini ada pancaran sedih dan bingung dari roman mukanya.
“Hamba siap menerima perintah, Gusti Adipati.”
“Ki Pardopo. Kali ini aku akan memberikan sesuatu kepadamu. Seperti saat aku memintamu tinggal di sini dulu. Aku minta kamu tidak menolaknya. Aku tahu kamu sangat bersedih, namun semoga pemberianku ini akan dapat mengurangi kesedihanmu.”
“Hamba Gusti. Gusti adipati akan memberi hamba apalagi? Yang hamba terima dari paduka selama ini sudah sangat berlebihan.”
“Tidak Ki Pardopo. Kamu harus menerimanya. Kuncoro anakku menginginkan Menur menjadi pendampingnya. Aku minta kamu tidak menolaknya. Aku merestui mereka berdua.”
“Duh Gusti Adipati. Paduka begitu baik terhadap kami. Hamba hanya abdi biasa seperti yang lain. Namun kenapa Gusti Adipati selalu memberi kami berlebihan. Hamba tidak mengerti Gusti. Ini semua hadiah atau ujian kami Gusti...” Sambil menitikkan airmata, Ki Pardopo bersujud di hadapan Adipati Pudakwangi.
“Sudahlah, Ki Pardopo. Sebagai adipati, aku tidak akan menarik lagi ucapanku. Apalagi menarik apa yang telah kuberikan kepadamu juga keluargamu.”
Pesta perkawinan Kuncoro dan Menur pun berlangsung meriah. Para petinggi Kadipaten Pudakwangi hadir. Juga tamu-tamu dari Kadipaten tetangga. Hanya saudagar yang kecewa karena batal menjadi mertua Kuncoro yang tidak tampak. Para tamu heran karena Kuncoro mencintai anak abdinya. Ki Pardopo dan istrinya juga heran dengan hadiah yang diterimanya, di saat kebingungan dengan teka-teki siapa yang membuat perut Menur mual-mual namun jelas bukan karena masuk angin. Juga bingung dengan jawaban siapa yang memindahkan senthir di kamar tidur Menur setiap malam. Bahkan Kuncoro pun juga tidak tahu bila Menur menyimpan jawaban dari semua itu.****
Rumah Sastra, April 2010

Senin, 05 April 2010

Purwa Prasasti

Ada segenggam harap. Kupancangkan di langit-langit jiwa. Penaku adalah bajak meretas di ladang-ladang subur. Aku hanyalah petani sastra yang hanya dapat menanam kata dan kalimat. Berharap memanen kepuasan batin darinya. Benih sastraku dari sunatullah, tidak membeli. Maka panenku juga untuk diri dan pencerahan jiwa mereka yang peduli menyimaknya. Goresan penaku hanyalah ungkapan yang tertangkap indera dan rasa. Semua atas kuasa-Nya. Aku hanya bak penampung yang alirkan pencerahan bagi sesama. Anugerah ini bukan untuk diri sendiri. Lewat pintu huruf kutelusuri dunia imajinasi. Kurenangi beningnya jiwa. Mata air kata-kata memancarkan petuah bagi hidupku. Kutabur bunga puisi di lembah fantasi. Kumenari ditingkah cahaya gemerlap. Ah.... anugerah tiada tara. Akan kujaga sepanjang hayat. Agar tetap tercipta karya. Meski bukan pujangga, aku bersyukur menerimanya.